Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Pribadi " Bahasa Semangat Dan Rindu "

Salam Hormat dan Hangat untuk pembaca sekalian.

Di bawah ini Cerpen yang saya buat coba-coba dan merupakan pengalaman pribadi. semoga ketika anda membaca nya bisa dinikmati. Selamat Membaca.

BAHASA Semangat dan RINDU

Aku berangkat pulang menuju senyum, harapmu, dan rindu kalian. subuh pagi menuju ke kota tempat kita merangkai janji setia. pagi ini dengan sepeda motor, dan bekal seada nya. berharap cuaca menjadi sahabat dan mentari malu di balik mendung. Lupa, ku menghitung berapa lama kita tak berjumpa karena rindu yang sudah tak terbendung. Perjalanan ku menghabiskan belasan jam dengan  beberapa kali rehat untuk menumpuk semangat. Ah..ku melihat plang 18 km sisa jarak jasad kita terpisah. aku kan menyiram kasih di hatimu. Memeluk mu erat untuk mengganti waktu yang hilang saat kita tak bersama.

Sore memasuki kota ini udara begitu sejuk menusuk, bukan sakit yang merasuk tapi bahagia yang kureguk. Layaknya sebuah kebebasan, udara dikampung halaman tentu menjadi bagian rindu ketika kita akan kembali.  Aku sudah tak sabar lagi di tengah hiruk-pikuk jalanan yang tampak sesak. Lalu lintas yang kusut dan semerawut akibat kendaraan beranak-pinak karena uang muka yang murah. Setiap orang ingin meninggikan derajat nya sampai-sampai trotoar untuk pejalan kaki menjadi lintasan balap para pengendara motor yang ingin segera sampai ke tujuan nya.

Perhentian yang panjang dengan tatapan ku mengarah pada lampu merah. Sekilas suara mendekat.
“koran pak ?” tanya pedagang koran.

 Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aku lalu terkenang peristiwa ketika diri ini menjajakkan koran, saling merebut pelanggan, dan berbagi hasil yang tak seberapa. Sebelum negara ini mengalami reformasi, aku merubah diriku dari anak yang tangguh menjadi anak yang manja. Peristiwa ketika aku dipeluk hangat ibunda tercinta dengan tetes air mata dan kata-katanya.
“nak.. bapak dan Ibu masih sanggup memberi mu sekedar uang jajan atau makan. Tak perlu kau mencari uang” ujar nya haru.
aku lalu didekap ibu erat ketika meyodorkan hasil berjualan koran sebesar Rp 350,-. Hasil, dari satu koran dan satu majalah yang terjual. Pelukan yang hangat , air mata ku mengalir dan Waktu terasa mundur kebelakang ketika diriku masih berumur 6 tahun. Saat itu, setelah habis bermain. Seperti anak kebanyakkan yang kuinginkan hanya uang untuk membeli minuman atau jajanan. Rumah ku yang lama terletak di sebuah lorong padat penduduk dan masuk gang yang tak terlalu jauh. Aku masuk dari pintu samping belakang yang terbuka pintunya. Kulihat bapak ku sedang menganyam besi untuk dijadikan fondasi bakal rumah ku saat ini. Sungguh kepala rumah tangga yang gigih, semua ia kerjakan sendiri. Ia merupakan perantau dari kota pelajar, di kota ini usaha nya dimulai dari dagang makanan khas yang terbuat dari tepung terigu dan ikan giling.
Haus yang terasa semakin membuat diriku yang masih anak-anak mulai kehilangan kendali. Aku mulai merengek
“pak, minta uang ?” ujar ku berkali-kali.
“minta sama ibu” jawab bapak yang terus disibukkan untuk membuat anyaman fondasi.
Tanpa sadar. Tiba-tiba, Besi sepanjang lima meter seukuran ibu jari, berada di kedua tanganku, dan kupukulkan di pinggang bapak. Sehingga, pinggang nya tergores dan mengeluarkan darah. Bapak menatap ku, menangkap, dan segera memberi hukuman sebuah “cubit an” yang membuat ku meraung-raung
“ampun pak....ampunnn” aku menangis keras.
Bapak ku bukan orang yang keras. Baru saat itu aku dihukum  fisik. Ia orang yang penyayang, seorang perantau dari kota pendidikan yang sabar, dan membaktikkan diri untuk keluarga. Ia Baik,  seperti namanya “Darma”.  Hukuman fisik itu merupakan yang pertama dan terakhir mengajarkan bahwa segala sesuatu tidak perlu dihadapi dengan kekerasan namun ada saat manusia harus disadarkan dengan rasa sakit.
Semua itu membuat ku bersyukur memilikki kedua orang tua yang bertanggung jawab. Lampu berganti hijau, kualanjut kan perjalanan ku yang sesaat lagi sampai. Aku memilih untuk melaju perlahan di barisan kendaraan yang tampak ingin mengambil finish pertama. Menjadi yang terakhir terkadang tidak mengenakkan. Kita harus menerima sisa pembuangan gas dari knalpot kendaraan lain nya. Kehidupan kota memang berbeda semua terasa begitu cepat. Apabila kita lambat maka kita akan tersisih. Sepeda motor ku mulai melamban dan berhenti. Mataku menatap, rumah dan keluarga yang sudah menanti.
Semua mulai terdengar jelas di pendengaran ku. Rasa rindu, kangen, dan sayang itu menari-nari di jasad ini.
“bagaimana keadaanmu disana nak” sambut kedua orang tua.
“kamu baik-baik saja dek, disana” sela saudariku
“aku kangen” ujar istri dengan senyum nya.
 Aku sungkem kepada ibu dan bapak, kepada salah satu saudara perempuan ku beserta suaminya yang kebetulan saat itu ada. Pelukan erat dengan sejuta bahasa dari istriku dan tatapan mata anak ku seolah berteriak senang
“Ayah pulang”
Memang semua itu kuanggap istimewa, tetapi terkadang masyarakat atau lingkungan punya pendapat sendiri. Aku berpendapat kepulangan ku hanya untuk memupuk semangat setelah segala perasaan penat mengisi hari-hariku di perantauan.

Aku tak membawa apa-apa selain menjalin silahturahmi. Harapku besar, mereka semua paham. Sebagai seorang pendidik aku tak akan melepas kan waktu masa libur sekolah untuk segera pulang kampung aku tak perlu latah mendengar atau menyebut kata
“mudik”
Peluang yang ada selalu aku manfaatkan tanpa berfikir panjang. Seperti keadaan ku saat ini menjadi pendidik Negeri atau familiar secara umum disebut PNS bukan perkara mudah. Sistem otonomi daerah membuat seleksi ini menjadi devisa bagi para birokrat rakus. Seperti komedi putar atau seleksi alam aku bersyukur mendapat kesempatan untuk itu tanpa menghalalkan segala cara. walau pun, aku mesti bertugas di luar provinsi ku atau di daerah baru. 
Masih kuat ingatan ku dengan segala prestise. Saat bertugas di hari pertama untuk mengenalkan diri pada saat upacara penaikkan bendera di senin pagi.
Bukan sebuah alasan yang tepat. Setiap orang memiliki cara nya sendiri untuk mengemukakan pendapat. Profesi ku sebagai guru bahasa indonesia tentu bukan jaminan bahwa aku orang yang pandai berbahasa. Bahasa bukan sebagai alat untuk memperdaya orang lain. Seseorang pemimpin besar tentu memiliki retorika yang baik. Tapi, aku selalu memendam pertanyaan ku. Ada apa dengan bangsa ini? Orang-orang menggunakan beragam bahasanya sesuai kegunaannya. Aku coba menulis sebuah sajak untuk menggambarkannya
Bahasaku
Kita berbahasa satu bahasa bangsa ini
Kita sampaikan bahasa anarkis bila kita mendendam dan memendam ketidaktahuan
Kita sampaikan bahasa senjata bila kita diangkat menjadi aparat
 Kita sampaikan bahasa politik untuk menghindari kritik
 Kita sampaikan bahasa diplomatik untuk bebas dari jerat sanksi dan sakit
 Sekedar, Bahasaku di sekitar
 Kita sampaikan bahasa akademik sebagai alasan pendidik
 Kita sampaikan bahasa dalil sebagai pembenaran
 Kita sampaikan bahasa idealis demi anggapan berbeda dan berharap  populis
 Kita sampaikan bahasa tubuh untuk menipu
 Aku masih tak pandai berbahasa, dari yang sebagian menggunakan itu
 Bangsa ini nasionalis dan berbahasa satu.
 Tentu kita semua tahu.”

 Coretan di secarik kertas tersebut merupakan luapan rasa terhadap        sekelumit masalah yang muncul di profesi ku.
.................................................................................................................................................
 Aku bangun dari tidur saat ayam berorasi bersaing memberi petuah rezeki, di sebuah kamar, bersama istri, anak, di sebuah rumah penuh kenangan, tempat aku dibesarkan, lingkungan yang mendidikku. Aku tak bisa lagi berbicara, permisi dengan sedikit bahasa. Pukul 7 pagi nanti aku harus kembali ke tempat tugasku kembali meninggalkan semua itu untuk sementara waktu. melewati perjalanan selama 12 jam untuk bertanggung jawab di sisa setengah kehidupan ini.
Halley Kawistoro
Halley Kawistoro Seorang Tenaga Pengajar di Sekolah Menengah Pertama yang ingin menyalurkan kemampuan di bidang Menulis dan bermanfaat Bagi Orang Lain

Post a Comment for "Cerpen Pribadi " Bahasa Semangat Dan Rindu ""